BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang Masalah
Upaya manusia untuk memenuhi
berbagai kepentingan bisnis, diantaranya adalah mewujudkannya dalam bentuk
kontrak bisnis. Dalam bisnis, kontrak merupakan bentuk perjanjian yang dibuat
secara tertulis yang didasarkan kepada kebutuhan bisnis. Kontrak atau contracts (dalam bahasa Inggris) dan overeenskomst (dalam Bahasa Belanda)
dalam pengertian yang lebih luas kontrak sering dinamakan juga dengan istilah
perjanjian . Istilah “kontrak” atau “perjanjian” dalam sistem hukum nasional
memiliki pengertian yang sama, seperti halnya di Belanda tidak dibedakan antara
pengertian “contract” dan “overeenkomst”. Kontrak adalah suatu perjanjian (tertulis)
antara dua atau lebih orang (pihak) yang menciptakan hak dan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan
hal tertentu. Dalam hukum kontrak sendiri terdapat asas yang dinamakan
kebebasan berkontrak. Menurut Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata menyatakan bahwa
semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Dari bunyi pasal tersebut sangat jelas terkandung asas :
a. Konsensualisme, adalah perjanjian itu telah
terjadi jika telah ada konsensus antara pihak-pihak yang mengadakan kontrak;
b. Kebebasan
berkontrak, artinya
seseorang bebas untuk mengadakan perjanjian, bebas mengenai apa yang
diperjanjikan, bebas pula menentukan bentuk kontraknya;
c. Pacta Sun Servanda, artinya kontrak itu merupakan
Undang-undang bagi para pihak yang membuatnya (mengikat).
Communis
opinio doctorum selama ini dengan bertitik tolak pada pasal 1313 KUH
Perdata menyatakan bahwa “perjanjian adalah suatu perbuatan hukum yang berisi
dua” (“een tweezijdige rechtshandeling”)
untuk menimbulkan persesuaian kehendak guna melahirkan akibat hukum. Yang
dimaksud dengan satu perbuatan hukum yang berisi dua ialah penawaran
(aanbod/offer) dan penerimaan (aanvaarding acceptance). Penawaran dan
penerimaan itu masing-masing pada hakekatnya adalah perbuatan hukum. Sedangkan
yang dimaksud dengan perbuatan hukum adalah perbuatan subyek hukum yang
didasarkan pada kehendak yang dinyatakan untuk menimbulkan akibat hukum yang
dikehendaki dan diakui oleh hukum. Berarti masing-masing pihak seyogyanya
mempunyai kebebasan kehendak. Itulah sebabnya Buku III KUH Perdata dikatakan menganut
sistem terbuka. Tetapi kebebasan kehendak tersebut dalam kenyataanya seringkali
didapati salah satu pihak yang menentukan syarat didalam suatu kontrak,
sedangkan pihak lain hanya dapat menerima atau menolak (misalnya dalam kontrak
standar: syarat umum dari bank, syarat penyerahan dari produsen, dan
sebagainya). Tidak dipungkiri bahwa kegiatan bisnis tersebut menjadi latar
belakang tumbuhnya perjanjian baku. Menurut Gras dan Pitlo, latar belakang
lahirnya perjanjian baku antara lain merupakan akibat dari perubahan susunan
masyarakat. Masyarakat sekarang bukan lagi merupakan kumpulan individu seperti
pada abad XIX, tetapi merupakan kumpulan dari sejumlah ikatan kerja sama
(organisasi). Perjanjian baku lazimnya dibuat oleh organisasi-organisasi
poerusahaan. Hal inilah yang membuat perjanjian baku sering telah
distandarisasi isinya oleh pihak-pihak ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya
hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima
isinya pernjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi
apabila ia menolak, perjanjian itu sianggap tidak ada karena debitur tidak
menandatangani perjanjian itu. Disinilah letak kontradiksi antara asas
kebebasan berkontrak dengan pemberlakuan pelaksanaan perjanjian baku.
Akan tetapi dewasa ini marak sekali
akan terjadinya pelanggaran kontak “wanprestasi”. Kasus yang sekarang sedang
hangat di bicarakan adalah kasus wanprestasi PT.Horison kepada PT.Arkindo
terkait proyek pembuatan Trans Metro Bandung (TMB) yang akhirnya menyeret
PT.Horison berurusan dengan kepolisisan.
1.2
Rumusan
Masalah
Dari uraian latar belakang diatas dapat dirumuskan
permasalahan yaitu:
1.
apa
yang menjadi dasar berlakunya perjanjian baku/standar kontrak ditinjau dari
sudut pengenyampingan asas kebebsan berkontrak?
2.
Bagaimanakah
dengan kasus wansprestasi perjanjian yang di lakukan oleh PT.Horison kepada
PT.Arkindo jika di lihat dari teori perjanjian dan kebebasan berkontrak?
1.3
Sistematika Penulisan
Makalah ini terdiri dari empat bab dimana pembahasan dalam masing-masing bab akan dijelaskan dan
dijabarkan lebih rinci kedalam sub-sub bab. Pembahasan antara satu bab dengan
bab lain akan saling berhubungan erat sehingga pada hasilnya diharapkan dapat
diperoleh penulisan ilmiah yang sistematis. Adapun sistematika pembahasannya
sebagai berikut :
a.
Bab I : Pendahuluan
Didalam bab ini dijelaskan tentang
pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan, rumusan masalah dan sistematika penulisan.
b.
Bab II : Landasan teori
Didalam bab ini dijelaskan tentang landasan yang berisi pengertian
perjanjian, macam-macam
perjanjian, syarat sahnya perjanjian, saat lahirnya perjanjian dan pembatalan
pelaksanaan suatu perjanjian.
c.
Bab III : Pembahasan
Didalam bab ini dijelaskan tentang pembahasan
yang berisi kronologi terjadi nya wanprestasi suatu perjanjian.
d.
Bab IV : Penutup
Didalam bab ini berisikan kesimpulan
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.
Perjanjian dan Pengertiannya
Istilah perjanjian
baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract.
Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam
bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu
pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut
Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah
satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak
(boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang
dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya
mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa
perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak
tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk
menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu
pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Sedangkan
menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan
seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih
buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah
itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial.
Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti
kerugian dalam keadaan yang memperburuk.Menurut Treitel, “freedom of contract”
digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum (general principle). Asas umum
yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak membatasi syarat-syarat yang boleh
diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut tidak membebaskan berlakunya
syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena syarat-syarat perjanjian tersebut
kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi ruang lingkup asas kebebasan
berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri isi
perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa pada umumnya seseorang
menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu perjnjian. Intinya
adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi para pihak untuk
menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian. Tanpa
sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian yang
dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya.
Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya
paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak
lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan
diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada
perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat
dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia
bisnis pada saat ini. Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku
mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas. Dalam
melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak
baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua
pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan
penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan
berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam
perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena
alasan demi kepentingan umum (public interest).
Dari keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada
kebebasan berkontrak yang mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu
kontrak yang dapat berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan
masyarakat. Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang
selama ini dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan
diatas ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang
sebelumnya tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang
datangnya dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku
pembuat hukum, dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature)
terutama dari pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya
perjanjian adhesi atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhanbisnis. Di
Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang merupakan campur
tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang
paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh dan
majikan/pengusaha.Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat
membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan
perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk
emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.Bila dikaitkan dengan peraturan
yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar
yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan
hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah
Indonesia, yaitu :
1.Pasal 6.5.1.2.dan Pasal 6.5.1.3.NBW Belanda:
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :Bidang-bidang usaha untuk mana aturan
baku diperlukan ditentukan dengan peraturan. Aturan baku dapat ditetapkan,
diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah
panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia
diatur dengan Undang-undang. Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku
hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja. Seseorang
yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau
menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu. Janji baku
dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui
pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui
isinya.
2.
Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of
International Comercial Contract). Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum
yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip
kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa
membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai
berikut :
Apabila
salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka
berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal
2.20 – pasal 2.22. Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan
terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu
pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya. Ketentuan ini mengatur tentang :
1. Tunduknya salah satu pihak terhadap
kontrak baku
2.
Pengertian kontrak baku.
3. Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan
sebagai berikut :
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya.Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya.Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4. Pasal 2.21 berbunyi :dalam hal
timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak
standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
5. Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan
persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk
beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan
perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar
yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah
menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada
pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak
tersebut.
6. UU No 10 Tahun 1988 tentang
Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
2.2.
Macam-Macam Perjanjian
Macam-macam perjanjian obligator ialah sbb;
Macam-macam perjanjian obligator ialah sbb;
1.
Perjanjian
dengan Cuma-Cuma dan perjanjian dengan beban
Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata). Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
Perjanjian dengan Cuma-Cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri. (Pasal 1314 ayat (2) KUHPerdata). Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
2.
Perjanjian
sepihak dan perjanjian timbal balik
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja. Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja. Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
3.
Perjanjian
konsensuil, formal dan, riil Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap
sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan
perjanjian tersebut. Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan
dengan suatu bentuk teryentu, yaitu dengan cara tertulis.
Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
4.
Perjanjian
bernama, tidak bernama dan, campuran Perjanjian bernama adalah suatu perjanjian
dimana Undang Undang telah mengaturnya dengan kententuan-ketentuan khusus yaitu
dalam Bab V sampai bab XIII KUHPerdata ditambah titel VIIA. Perjanjian
tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus. Perjanjian
campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit
dikualifikasikan.
2.3.
Syarat
Sahnya Perjanjian
Menurut Pasal 1320
Kitab Undang Undang Hukum Perdata, sahnya perjanjian harus memenuhi empat
syarat yaitu :
1.
Sepakat
untuk mengikatkan diri Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai
segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara
bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan.
2.
Kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian.
Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mngadakan
hubungan hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat
pikirannya adalah cakap menurut hukum.
3.
Suatu
hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini
diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan.
Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai
suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.
4.
Sebab
yang halal Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud
untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah
jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335
KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai
kekuatan atau batal demi hukum.
Dua
syarat yang pertama yaitu kesepakatan dan kecakapan yang disebut syarat- syarat
subyektif. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif, karena
mengenai perjanjian itu sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan.
2.4.
Saat
Lahirnya Perjanjian
a)
Menetapkan
kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
kesempatan penarikan kembali penawaran;
kesempatan penarikan kembali penawaran;
b)
penentuan
resiko;
c)
saat
mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
d)
menentukan
tempat terjadinya perjanjian.
Berdasarkan Pasal
1320 jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang
dimaksud adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya
konsensus/sepakat dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang
diperjanjikan. Pada umumnya perjanjian yang diatur dalam BW bersifat
konsensual. Sedang yang dimaksud konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak
atau persesuaian kehendak antara para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan
memberikan persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang
menghendaki apa yang disepakati. Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian
sepakat sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende
wilsverklaring) antar pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan
tawaran (offerte). Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi
(acceptatie). Jadi pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak
dari pihak yang akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang
menimbulkan/melahirkan kontrak/perjanjian. Ada beberapa teori yang bisa
digunakan untuk menentukan saat lahirnya kontrak yaitu:
a)
Teori
Pernyataan (Uitings Theorie). Menurut teori ini, kontrak telah ada/lahir pada
saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan. Dengan kata
lain kontrak itu ada pada saat pihak lain menyatakan penerimaan/akseptasinya.
b)
Teori
Pengiriman (Verzending Theori). Menurut teori ini saat pengiriman jawaban
akseptasi adalah saat lahirnya kontrak. Tanggal cap pos dapat dipakai sebagai
patokan tanggal lahirnya kontrak.
c)
Teori
Pengetahuan (Vernemingstheorie). Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah
pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang menawarkan.
d)
Teori
penerimaan (Ontvangtheorie). Menurut teori ini saat lahirnya kontrak adalah
pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut dibuka atau
dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut sampai pada
alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat lahirnya
kontrak.
2.5.
Pembatalan
Pelaksanaan Suatu Perjanjian Pelaksanaan Perjanjian
Itikad baik dalam
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata merupakan ukuran objektif untuk menilai
pelaksanaan perjanjian, artinya pelaksanaan perjanjian harus mengindahkan
norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Salah satunya untuk memperoleh hak milik
ialah jual beli. Pelaksanaan perjanjian ialah pemenuhan hak dan kewajiban yang
telah diperjanjikan oleh pihak-pihak supaya perjanjian itu mencapai tujuannya. Jadi
perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa. Perjanjian yang telah dibuat
secara sah mengikat pihak-pihak, perjanjian tersebut tidak boleh diatur atau
dibatalkan secara sepihak saja.
Pembatalan Perjanjian
Suatu
perjanjian dapat dibatalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian
ataupun batal demi hokum. Perjanjian yang dibatalkan oleh salah satu pihak
biasanya terjadi karena;
-
Adanya
suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu
yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
-
Pihak
pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau
secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
-
Terkait
resolusi atau perintah pengadilan
-
Terlibat
hokum
-
Tidak
lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1.
Kronologinya Perjanjian
Didalam sebuah perjanjian memang selalu terdapat 2 pihak
atau lebih yang memiliki hak dan kewajiban masing-masing. Demikian pula dengan
Pemerintah Kota Bandung yang bekerjasama dengan PT.Horison dalam hal pembuatan
proyek Trans Metro Bandung (TMB). Dalam
hal ini Pemerintah Kota Bandung meminta PT.Horison sebagai Sponsor utama dengan
tujuan agar dalam pengadaan proyek ini tidak dengan uang APBD. Pemkot Bandung
mengadakan perjanjian timbal balik yang dalam hal ini PT.Horison bersedia mengeluarkan
sejumlah uang untuk mendirikan semua shettler total senilai 9,9 Milyar. Sebagai
kompensasinya PT.Horison berhak mendapatkan izin atas pemasangan reklame di
semua Shettler.
Kemudian PT.Horison atas izin dari pemkot Bandung mengadakan
kerjasama dengan jasa kontraktor yaitu PT.Arkindo. Dalam melaksanakan
kesepakatan perjanjian kerjasama tersebut di lakukan di hadapan seorang notaris
yaitu Ramlan Utomo, SH. Dalam perjanjian yang di lakukan keduanya, mereka
bersepakat jika pembayaran di lakukan secara bertahap yaitu total terdapat 3
tahap dimana tahap awal di bayarkan setelah sebulan kerja dan sisanya di
bayarkan disetiap satu semester masing-masing sekitar 3Milyar. Perjanjian
tersebut berisi 15 pasal yang isinya
mengikat masing-masing pihak. Proyek Trans Metro Bandung pun di mulai
pembangunanya pada Juli kemarin, sehingga jika menilik apa yang terdapat dalam
surat perjanjian maka PT.Horison harus membayar uang muka kepada PT.Arkindo
sebagai jasa Kontraktor di bulan agustus 2011 atau sebulan setalah proyek di
mulai. Namun sampai satu setengah bulan proyek berjalan, PT.Horison belum
sepeserpun membayar uang muka kepada PT.Arkindo. Hal ini tentu memancing
kemarahan dari pihak PT.Arkindo, dimana PT.Horison telah lalai melaksanakan
kewajibannya seperti apa yang telah di perjanjikan atau juga dapat di katakana
jika PT.Horison telah melakukan Wanprestasi.
Tidak sepantasnya
PT.Horison sebagai perusahaan besar melakukan wanprestasi apalagi mereka juga
melakukan kompromi dengan Pemerintah Kota Bandung, sampai-sampai pemkot Bandung
mengeluarkan surat teguran kepada PT.Horison sebagai mitra nya. Padahal jika
menilik salah satu azas Pacta Sun
Servanda, artinya kontrak itu merupakan Undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya (mengikat), sehingga baik PT.Horiaon maupun PT.Arkindo memiliki
kewajiban masing-masing. Karena tidak mendapatkan respon dari pihak PT.Horison,
maka PT.Arkindo melaporkan kepada kepolisian dengan bukti-bukti yang menguatkan
bahwa mitranya melakukan wanprestasi. Namun anehnya, Pt.Horison malah
menganggap bahwa perjanjian kontrak yang telah mereka buat pada dasarnya tidak
sah padahal perjanjian tersebut di lakukan di hadapan notaris.
Pdahal menurut pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata,
sahnya perjanjian harus memenuhi empat syarat yaitu :
1.
Sepakat
untuk mengikatkan diri Sepakat maksudnya adalah bahwa para pihak yang
mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju untuk seia sekata mengenai
segala sesuatu yang diperjanjikan. Kata sepakat ini harus diberikan secara
bebas, artinya tidak ada pengaruh dipihak ketiga dan tidak ada gangguan. Dalam
hal ini adalah PT.Horison dan PT.Arkindo.
2.
Kecakapan
untuk membuat suatu perjanjian.
Kecakapan untuk membuat suatu
perjanjian berarti mempunyai wewenang untuk membuat perjanjian atau mngadakan hubungan
hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya adalah
cakap menurut hukum.
3.
Suatu
hal tertentu Suatu hal tertentu merupakan pokok perjanjian. Syarat ini
diperlukan untuk dapat menentukan kewajiban debitur jika terjadi perselisihan.
Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian harus mempunyai sebagai
suatu pokok yang paling sedikit ditetapkan jenisnya.
4.
Sebab
yang halal Sebab ialah tujuan antara dua belah pihak yang mempunyai maksud
untuk mencapainya. Menurut Pasal 1337 KUHPerdata, sebab yang tidak halal ialah
jika ia dilarang oleh Undang Undang, bertentangan dengan tata susila atau ketertiban. Menurut Pasal 1335
KUHPerdata, perjanjian tanpa sebab yang palsu atau dilarang tidak mempunyai
kekuatan atau batal demi hukum.
Yang lebih mengherankan lagi adalah
komentar dari juru bicara PT.Horison yang menyatakan bahwa pihak yang
sebenarnya bertanggung jawab adalah dari pemkot Bandung. Berdasarkan Pasal 1320
jo 1338 ayat (1) BW/KUHPerdata dikenal adanya asas konsensual, yang dimaksud
adalah bahwa perjanjian/kontrak lahir pada saat terjadinya konsensus/sepakat
dari para pihak pembuat kontrak terhadap obyek yang diperjanjikan. Pada umumnya
perjanjian yang diatur dalam BW bersifat konsensual. Sedang yang dimaksud
konsensus/sepakat adalah pertemuan kehendak atau persesuaian kehendak antara
para pihak di dalam kontrak. Seorang dikatakan memberikan
persetujuannya/kesepakatannya (toestemming), jika ia memang menghendaki apa
yang disepakati. Mariam Darus Badrulzaman melukiskan pengertian sepakat sebagai
pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antar
pihak-pihak. Pernyataan pihak yang menawarkan dinamakan tawaran (offerte).
Pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Jadi
pertemuan kehendak dari pihak yang menawarkan dan kehendak dari pihak yang
akeptasi itulah yang disebut sepakat dan itu yang menimbulkan/melahirkan
kontrak/perjanjian sehingga pemkot Bandung tidak dapat disalahkan karena yang
membuat kerjasama dan mendatangani surat perjanjian adalah dari pihak
PT.Horison sendiri.
Karena dalam kasusu tersebut
masing-masing pihak harus menggunakan Teori penerimaan (Ontvangtheorie). Dimana
lahirnya kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat
tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat
tersebut sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai
patokan saat lahirnya kontrak.
Hingga akhirnya pemkot Bandung
membatalkan perjanjian kerjasama dengan PT.Horison dengan beberapa alas an
diantaranya:
1.
Adanya
suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak diperbaiki dalam jangka waktu
yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2.
melihat
adanya kemungkinan pihak PT.Horison
mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi
kewajibannya.
3.
Terkait
resolusi atau perintah pengadilan
4.
Terlibat
hukum, dimana PT.Horison bersengketa dengan PT.Arkindo
5.
Tidak
lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan perjanjian.
Dalam hal ini PT.Horison melakukan wanprestasi.
Hingga saat ini kelanjutan Pembuatan
Trans Metro Bandung koridor 1 (Cibeureum-cibiru) masih belum jelas. Pihak Pemkot menyatakan PT.Horison
berada pada kondisi pailit dan telah melakukan wanprestasi kepada dua pihak
yaitu Pemkot Bnadung dan PT.Arkindo.
BAB IV
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Melihat kasus diatas dapat kita simpulkan bahwa dalam
membuat suatu perjanjian baik yang di buat secara resmi (otentik) maupun di
bawah tangan harus mengerti secara benar dari teori Pacta Sund Servanda, dimana
perjanjian yang di buata adalah merupakan UU bagi para pihak yang membuat
sehingga masing-masing pihak memiliki hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban
tersebut harus di jalankan dengan baik dan benar sebagai suatu konsekuensi dari
kerjasama yang di buat yaitu dengan memberikan prestasi kepada pihak yang lain.
Tetapi alangkah lebih baiknya jika dalam mengdakan
perjanjian mengunakan perjanjian resmi yang di saksikan oleh notaris, sehingga
apabila nantinya terdapat persoalan hukum maka draft atau surat perjanjian yang
telah di sepakati dan di tandatangani tersebut dapat di jadikan sebagai alat
bukti yang paling kuat.
DAFTAR PUSTAKA
Gunawan, Johannes dkk. Tanpa Tahun. Beberapa hal Tentang Itikad Baik dan
Tanggung Jawab Hukum. Bandung. Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas
Katolik Parahyangan.
Ibrahim, Johannes. 2004. Hukum Bisnis Dalam Persepsi Dunia Modern. Jakarta: PT Refika
Aditama.
Salim. 2007. Perkembangan
Hukum Kontrak diluar KUH Perdata. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Saliman, Abdul R & dkk. 2004. Esensi Hukum Bisnis Indonesia. Jakarta:
Kencana.
Subekti, R. 1984. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.
Subekti, R. 1984. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.
Winarno.
2011. Kasus wanprestasi terbaru.
Dalam Http://winekonom.wordpress.com (Diakses pada 23 September 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar